skip to main | skip to sidebar

arga bima

mengutip ucapan sastrawan genius Nietzsche, yang dikutip novelis eksistesialis Albert Camus: katanya "Tidak seorang pun seniman dapat menerima kenyataan." Dan komentar Alber Camus: "Ini benar, tetapi juga tidak seorang pun seniman dapat hidup di luar kenyataan."

Rabu, 01 Oktober 2008


Diposting oleh arga bima di 23.51 Tidak ada komentar:
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

The Links

  • Frans blog
  • Arnis sabuya blog
  • otakyangterotak.blogspot.com
Glitter Graphics



Yesterday, I keep my promise, I’m going to church. I pray for my friend,
May God always bless her with good healthy and prosperity .. and then I found this words …
And fear not them which kill the body, but are not able to kill the soul…

gede prama




Glitter Para Hi5



Donald B. Calne,

Penulis buku Within Reason,

Rationality and Human Behavior, ketaknalaran marak bersamaan dengan semakin naiknya gengsi tukang ramal, ahli kebatinan, astrolog, penyembuh terawang, pengikut pengobatan alternatif, dan cenayang. Memakai nalar dalam sejumlah keputusan hidup sangat penting, memang. Tanpa nalar semua jadi kacau, tumpang tindih, tak beraturan. Tapi diyakini Donal B. Calne, sebagai piranti biologis nalar tentu ada batasnya. Persoalannya, sejauh mana manusia bisa menggunakan nalar guna meraih kebahagian hidup?

NET WORK

  • okezone
  • PIER
  • demokrasi
  • JAWAPOS
  • suara pembaruan
  • GOOGLE
  • AYU
  • INILAH.COM
  • XL
  • OKEZONE
  • media indonesia
  • KOMPAS
  • detik com
  • yahoo

inspiration

sesungguhnya yang abadi adalah perubahan itu sendiri

Sebuah pamflet kaum muda hari ini lebih layak dijadikan acuan ketimbang memberati dengan berton-ton timbunan dokumen-dokumen pikiran yang sebagian besar juga gagal sebagai capaian. Apakah marhaenisme berhasil ketika Soekarno masih menjadi presiden selama 20 tahun? Atau ia hanya berhasil ketika dirumuskan, sebagaimana juga "Demokrasi Kita" Bung Syahrir yang mendasarkan diri kepada humanisme?

Barangkali Bung Hatta juga tidak sampai selesai mengembangkan sebuah koperasi, seberhasil Muhammad Yunus menerapkan di bumi Banglades sana. Tan Malaka, ia terobsesi kepada revolusi dan terbunuh karena itu. Tanpa Jakarta Lalu, dari mana kita harus memulai? Sekali lagi, apakah kaum muda sudah memiliki kaum? Jangan-jangan yang dimiliki hanyalah auman melengking dalam kandang-kandang besar bernama konsumerisme, hedonisme, gaya hidup, atau jepretan kamera-kamera digital. 


Barangkali, kaum muda hanyalah bagian dari kaum muda digital itu yang menilai revolusi hanya sekadar pemberitaan masif di media. Media, dalam zaman ini, hanya alat penampung, medium pemuai, dari segala jenis informasi yang telah dicabik-cabik dan dibingkai sesuai dengan segala jenis paradigma para pekerjanya. Kaum muda yang memiliki kaum barangkali hanya hadir sesaat, selintas, dalam media yang sebenarnya. Ia menjadi bagian dari representasi sosial masyarakatnya. Ia berlumpur di Sidoarjo, berkoteka di hutan rimba Papua, bermukena di meunasah-meunasah Aceh, serta berselimutkan belerang di kaki-kaki bukit bekas galian. 

Di laut-laut ganas mereka hanya berpendidikan sekolah dasar atau tidak tamat sekolah dasar, lebih dari 80 persen, dengan perahu-perahu yang mudah karam. Di desa-desa, mereka berhadapan dengan hama, perubahan iklim, dan para tengkulak. Kaum muda yang berkaum itu tidak lagi sempat membaca koran, melihat televisi, atau mendengarkan radio. Semua itu hanyalah benda-benda mewah hasil kerja para orang tua yang ingin menikmati masa tuanya. 

Kaum muda Jakarta bukanlah representasi sosial dari kaum muda seperti itu. Kaum muda Jakarta hanyalah kepala tanpa kaki dan tangan. Kaum muda yang buntung secara sosial. Kaum muda yang tuna sosial. Kaum muda Jakarta adalah kaum muda tanpa keringat. Yang ada hanyalah pikiran tak berakar dan amanat tanpa alamat. Maka, ketika kaum muda Jakarta menciptakan sebuah ikrar, tentu ia ibarat teriakan di sebuah lembah yang terdengar disahuti, padahal memantul sendiri, berkali-kali. Jadi, tanpa melibatkan kaum muda yang punya kaum, saya sepakat agar diskusi soal kaum muda ini lebih baik diperdengarkan secara berbisik. Tidak perlu diteriakkan, apalagi dianggap sebagai tawaran sebuah perubahan.

semoga kita tidak lupa—bahwa gerakan mahasiswa 1998 pun bukanlah produk mahasiswa Jakarta saja  melainkan disampaikan secara bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di Medan, Lampung, Makassar, atau Yogyakarta. Benar, kemudian lebih banyak yang terluka dan terbunuh di Jakarta, tetapi yang mengawali tetap sebagai awal, selebihnya menjadi pengawal. Pasukan terbaik Napoleon Bonaparte pun tidak diambil dari kota Paris atau tentara Romawi dari kota Roma, melainkan berasal dari daerah-daerah pinggiran. Kaum muda yang tanpa kaum hanya akan menjadi kue panggang yang tidak matang dalam oven perubahan. ..... bravo perubahan,



dita

GUE BANGET

Foto saya
arga bima
betapapun amburadul, Indonesia is the best !
Lihat profil lengkapku



smile 4 me

EDISI

  • ▼  2008 (7)
    • ►  08/24 - 08/31 (5)
    • ▼  09/28 - 10/05 (1)
      • Tanpa judul
    • ►  10/19 - 10/26 (1)
Glitter Para Hi5