
Rabu, 01 Oktober 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
mengutip ucapan sastrawan genius Nietzsche, yang dikutip novelis eksistesialis Albert Camus: katanya "Tidak seorang pun seniman dapat menerima kenyataan." Dan komentar Alber Camus: "Ini benar, tetapi juga tidak seorang pun seniman dapat hidup di luar kenyataan."
gede prama
Penulis buku Within Reason,
Rationality and Human Behavior, ketaknalaran marak bersamaan dengan semakin naiknya gengsi tukang ramal, ahli kebatinan, astrolog, penyembuh terawang, pengikut pengobatan alternatif, dan cenayang. Memakai nalar dalam sejumlah keputusan hidup sangat penting, memang. Tanpa nalar semua jadi kacau, tumpang tindih, tak beraturan. Tapi diyakini Donal B. Calne, sebagai piranti biologis nalar tentu ada batasnya. Persoalannya, sejauh mana manusia bisa menggunakan nalar guna meraih kebahagian hidup?
Sebuah pamflet kaum muda hari ini lebih layak dijadikan acuan ketimbang memberati dengan berton-ton timbunan dokumen-dokumen pikiran yang sebagian besar juga gagal sebagai capaian. Apakah marhaenisme berhasil ketika Soekarno masih menjadi presiden selama 20 tahun? Atau ia hanya berhasil ketika dirumuskan, sebagaimana juga "Demokrasi Kita" Bung Syahrir yang mendasarkan diri kepada humanisme?
Barangkali Bung Hatta juga tidak sampai selesai mengembangkan sebuah koperasi, seberhasil Muhammad Yunus menerapkan di bumi Banglades sana. Tan Malaka, ia terobsesi kepada revolusi dan terbunuh karena itu. Tanpa Jakarta Lalu, dari mana kita harus memulai? Sekali lagi, apakah kaum muda sudah memiliki kaum? Jangan-jangan yang dimiliki hanyalah auman melengking dalam kandang-kandang besar bernama konsumerisme, hedonisme, gaya hidup, atau jepretan kamera-kamera digital.
Kaum muda Jakarta bukanlah representasi sosial dari kaum muda seperti itu. Kaum muda Jakarta hanyalah kepala tanpa kaki dan tangan. Kaum muda yang buntung secara sosial. Kaum muda yang tuna sosial. Kaum muda Jakarta adalah kaum muda tanpa keringat. Yang ada hanyalah pikiran tak berakar dan amanat tanpa alamat. Maka, ketika kaum muda Jakarta menciptakan sebuah ikrar, tentu ia ibarat teriakan di sebuah lembah yang terdengar disahuti, padahal memantul sendiri, berkali-kali. Jadi, tanpa melibatkan kaum muda yang punya kaum, saya sepakat agar diskusi soal kaum muda ini lebih baik diperdengarkan secara berbisik. Tidak perlu diteriakkan, apalagi dianggap sebagai tawaran sebuah perubahan.
semoga kita tidak lupa—bahwa gerakan mahasiswa 1998 pun bukanlah produk mahasiswa Jakarta saja melainkan disampaikan secara bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di Medan, Lampung, Makassar, atau Yogyakarta. Benar, kemudian lebih banyak yang terluka dan terbunuh di Jakarta, tetapi yang mengawali tetap sebagai awal, selebihnya menjadi pengawal. Pasukan terbaik Napoleon Bonaparte pun tidak diambil dari kota Paris atau tentara Romawi dari kota Roma, melainkan berasal dari daerah-daerah pinggiran. Kaum muda yang tanpa kaum hanya akan menjadi kue panggang yang tidak matang dalam oven perubahan. ..... bravo perubahan,