Selasa, 21 Oktober 2008

A Bailout We Don't Need ...., so...


by James K. Galbraith

Now that all five big investment banks -- Bear Stearns, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Goldman Sachs and Morgan Stanley -- have disappeared or morphed into regular banks, a question arises.

Is this bailout still necessary?

The point of the bailout is to buy assets that are illiquid but not worthless. But regular banks hold assets like that all the time. They're called "loans."

With banks, runs occur only when depositors panic, because they fear the loan book is bad. Deposit insurance takes care of that. So why not eliminate the pointless $100,000 cap on federal deposit insurance and go take inventory? If a bank is solvent, money market funds would flow in, eliminating the need to insure those separately. If it isn't, the FDIC has the bridge bank facility to take care of that.

Next, put half a trillion dollars into the Federal Deposit Insurance Corp. fund -- a cosmetic gesture -- and as much money into that agency and the FBI as is needed for examiners, auditors and investigators. Keep $200 billion or more in reserve, so the Treasury can recapitalize banks by buying preferred shares if necessary -- as Warren Buffett did this week with Goldman Sachs. Review the situation in three months, when Congress comes back. Hedge funds should be left on their own. You can't save everyone, and those investors aren't poor.

With this solution, the systemic financial threat should go away. Does that mean the economy would quickly recover? No. Sadly, it does not. Two vast economic problems will confront the next president immediately. First, the underlying housing crisis: There are too many houses out there, too many vacant or unsold, too many homeowners underwater. Credit will not start to flow, as some suggest, simply because the crisis is contained. There have to be borrowers, and there has to be collateral. There won't be enough.

In Texas, recovery from the 1980s oil bust took seven years and the pull of strong national economic growth. The present slump is national, and it can't be cured that way. But it could be resolved in three years, rather than 10, by a new Home Owners Loan Corp., which would rewrite mortgages, manage rental conversions and decide when vacant, degraded properties should be demolished. Set it up like a draft board in each community, under federal guidelines, and get to work.

The second great crisis is in state and local government. Just Tuesday, New York Mayor Michael Bloomberg announced $1.5 billion in public spending cuts. The scenario is playing out everywhere: Schools, fire departments, police stations, parks, libraries and water projects are getting the ax, while essential maintenance gets deferred and important capital projects don't get built. This is pernicious when unemployment is rising and when we have all the real resources we need to preserve services and expand public investment. It's also unnecessary.

What to do? Reenact Richard Nixon's great idea: federal revenue sharing. States and localities should get the funds to plug their revenue gaps and maintain real public spending, per capita, for the next three to five years. Also, enact the National Infrastructure Bank, making bond revenue available in a revolving fund for capital improvements. There is work to do. There are people to do it. Bring them together. What could be easier or more sensible?

Here's another problem: the wealth loss to near-retirees and the elderly from a declining stock market as things shake out. How about taking care of this, with rough justice, through a supplement to Social Security? If you need a revenue source, impose a turnover tax on stocks.

Next, let's think about what the next upswing should try to achieve and how it should be powered. If the 1960s were about raising baby boomers and the '90s about technology, what should the '10s and '20s be about? It's obvious: energy and climate change. That's where the present great unmet needs are.

So, let's use the next few years to plan, mapping out a program of energy conservation, reconstruction and renewable power. Let's get the public sector and the universities working on it. And let's prepare the private sector so that when the credit crunch finally ends, we'll have the firms, the labs, the standards and the talent in place, ready to go.

Some will ask if we can afford it. To see the answer, don't look at budget projections. Just look at interest rates. Last week, in the panic, the federal government could fund itself, short term, for free. It could have raised money for 30 years and paid less than 4 percent. That's far less than it cost back in 2000.

No country in this situation is broke, or insolvent, or even in much trouble. For once, Wall Street's own markets speak the truth. The financially challenged customer isn't Uncle Sam. He's up on Wall Street, where deregulation, greed and fraud ran wild.
James K. Galbraith is the author of The Predator State: How Conservatives Abandoned the Free Market and Why Liberals Should Too. This article first appeared in the Washington Post on 25 September 2008: A19. It is reproduced here for educational purposes.

Rabu, 01 Oktober 2008

Sabtu, 30 Agustus 2008

Bangsa yang Belum Selesai di Mata Yudi Latif

by Ilham Khoiri & Maria Hartiningsih

Indonesia adalah bangsa besar, kaya sumber daya alam dan budaya. Tetapi negara ini tak kunjung berhasil mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat. Di tengah rasa kecewa dan ancaman disintegrasi, proses menjadi Indonesia pun terancam mampat.

Dr Yudi Latif (43) termasuk intelektual yang gelisah dengan proses keindonesiaan. Bersama kaum muda yang tergabung dalam Reform Institute, dia menggodok gagasan untuk menyegarkan cita-cita moral bernegara dan berbangsa. Salah satu bentuk sumbangan pemikiran itu adalah jurnal Reform Review, yang akan diluncurkan pada 22 Mei 2007 malam.

Tak hanya berpijak pada pemikiran politik modern, gagasannya juga menukil khazanah Islam, karya sastra, budaya kontemporer, dan berbagai literatur pemikiran dunia. Pemikiran Yudi bersifat terbuka, pluralis, dan mengedepankan nilai kemanusiaan universal. Dengan artikulasi yang jernih, dia fasih merangkum semua bacaan itu karena punya bekal pendidikan serta pengalaman yang cukup lengkap. Yudi menyebut dirinya “bersemangat amaterisme” karena menerobos batas-batas keilmuan, tanpa bisa kukuh dalam satu disiplin ilmu. Ditemui di kantornya, Reform Institute, di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (15/5), dia mengajak menelusuri problem keindonesiaan saat ini.

Pembentukan Indonesia
Menurut Yudi, Indonesia bukanlah nation-state, tetapi state- nation. Artinya, state (negara) dulu yang ada, baru nation (bangsa)- nya terbentuk. Nation-state mengandaikan adanya kesatuan- kesatuan awal yang ditransformasikan dalam negara. Tetapi dalam state-nation, tak ada entitas tunggal yang bisa mempertautkan keindonesiaan, baik atas dasar agama maupun etnis. Persatuan muncul berdasarkan perlawanan terhadap colonial state. Inilah yang membentuk cikal bakal rasa kesatuan riwayat dan kehendak untuk bersatu. Soekarno dan Hatta kemudian mempersatukan lapis-lapis perjuangan kemerdekaan dengan membuat adonan konsep dari berbagai ideologi sebelumnya.

Apa dasar pembentukan Indonesia?
Para pemimpin saat itu membentuk kontrak sosial dengan membangun satu nation baru, tidak atas dasar agama, etnis, atau persamaan kelas, tetapi didasarkan pada civic nationalism. Dasar nasionalisme kita adalah karena adanya kontrak sosial, yakni membentuk kesamaan warga di depan hukum (civic nation). Itu termasuk demokrasi konstitusional yang sepenuhnya berdasar atas hukum. State ada karena ada kehendak bersama untuk mempersatukan cita-cita kesederajatan seperti diwujudkan dalam revolusi Perancis. Jadi, Indonesia lahir dari kepemimpinan ide.

Apakah kepemimpinan ide itu bertahan?
Setelah kepentingan bersama menghadapi kolonial berlalu, kita kehilangan kepentingan moral baru yang mempersatukan masyarakat. Kita tidak menemukan kesamaan tematik, agenda, atau blok historis bersama. Kepemimpinan moral dan intelektual sekarang ini hancur. para politisi kemudian kembali bermain di level rendah, yaitu politik atau ekonomi. Orang saling rebut ekses atau saling menyudutkan antargolongan atau agama. Itu terjadi akibat tidak ada lagi intelektual organik yang bisa mengartikulasikan kesadaran kolektif. Partai politik (parpol) tidak memunculkan kepemimpinan yang bisa menyuarakan sesuatu yang lebih besar dari kepentingan dirinya sendiri. Para politisi gagal merumuskan cita-cita bersama, mengatasi persoalan kemiskinan, ketertinggalan, korupsi, dan kesenjangan.

Bagaimana dengan pemimpin sekarang?
Kekuatan ideasional para pemimpin merosot. Mestinya demokrasi berjalan dengan merit atau prestasi individu. Di sini, demokrasi justru diikuti oleh peluluhan standar-standar. Panggung politik dihuni orang-orang yang menurun standar pendidikan dan proses rekrutmennya. Politisi kita tak paham apa yang dikerjakan sehingga kebijakan dan pertimbangan politiknya cenderung parsial, ad hoc, dan dangkal. Itu terlihat dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang tambal-sulam dan pendekatannya jangka pendek.

Negara gagal
Menurut Yudi, kelangsungan Indonesia dipertaruhkan pada kemampuan negara menjalankan kontrak sosial, terutama dalam penegakan rule of the law.Jika negara hukum tidak bekerja, elemen kebangsaan bakal kembali ke tribus-tribus awal, dan individu kembali dalam kepompong budaya masing-masing (tribal group). Bentuk tribus juga menggejala dalam radikalisme dan eksklusivisme agama.

Ketidakpercayaan terhadap negara tumbuh seiring dengan godaan untuk memisahkan diri. Pada tingkat lebih sublim, muncul anarkisme, seolah-olah masyarakat bisa hidup tanpa negara. Negara gagal jadi pusat teladan. Orang tidak percaya pada negara dan melawan seluruh hukum negara. Situasi itu dapat memicu chaos karena tidak ada lagi jangkar keyakinan dan kepastian. Terjadilah disorganisasi sosial. Orang menjadi sinis dan tidak percaya lagi pada siapa pun. Pada tingkat etis, semua nilai hancur. Di sisi lain, muncul obsesi untuk memunculkan nilai tandingan, seperti fundamentalisme.

Bagi Yudi, masalah dalam negeri ini bukan kegagalan bangsa, tetapi kegagalan negara. Kekisruhan yang terjadi mencerminkan kegagalan negara menegakkan hukum dan ketertiban.“Jika bangunan nilai ambruk, terjadilah failed state (negara gagal), bahkan Indonesia masuk dalam kutukan sumber daya. Kekayaan akan jadi kutukan, seperti dalam film Blood Diamond,” katanya.

Kepemimpinan
Untuk mengantisipasi kegagalan negara, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang berkomitmen pada cita-cita moral untuk menyejahterakan rakyat.Pemimpin tak bisa ditunggu, harus dikader. Kaderisasi dilakukan dengan mengarahkan pendidikan untuk memperkuat otonomi individu, yaitu pendidikan yang membuat individu berani berpikir dan bertanggung jawab.Sistem pembelajaran berbasis kelas yang meratakan seluruh individu harus dikoreksi dengan sistem individual center learning. Pendekatan multiple intelligency yang berpihak pada penguatan individu penting untuk penguatan karakter diri. Investasi perubahan melalui pendidikan butuh waktu lama, sedikitnya satu generasi. Tetapi itu harus dilakukan demi perubahan dalam jangka panjang.

Jangka pendek dan menengahnya bagaimana?
Perlu konsensus nasional untuk memungkinkan munculnya pemimpin alternatif di luar parpol. Amandemen konstitusi dikembangkan untuk memberi kemungkinan calon independen dari kekuatan civil society bisa dipilih dalam pemilu. Dalam demokrasi harus ada katup pengaman. Ketika rakyat sudah tak percaya pada parpol, harus dimungkinkan pengorganisasian oleh kelompok lain, yaitu melalui civil society.

Kelompok civil society mana yang bisa diharapkan?
Dalam sejarah Indonesia, civil society yang bisa mandiri itu kelompok-kelompok keagamaan. Sayangnya, kelompok ini sekarang mengalami politisasi. Pemimpin keagamaan semestinya sadar bagaimana berperan dalam politik tanpa harus mereduksi agama sebagai komoditi politik.Di samping itu, orang-orang di perguruan tinggi bisa diharapkan, tetapi kampus harus menegakkan kembali wibawa pengetahuan. Pers harus mempertahankan khitah sebagai elemen pencerah masyarakat.

Peran agama
Yudi menilai, Pancasila merupakan titik kompromi bagi semua arus pemikiran. Doktrin sila Ketuhanan Yang Maha Esa menghendaki, nilai moralitas agama tetap mewarnai pilihan politik dan kebijakan publik, tetapi bukan negara agama. Nilai profetik dan universal dari agama bisa diterjemahkan dalam isu publik dan politik, seperti kemerdekaan, kedamaian, antikorupsi, kebersihan, kesehatan, keadilan, atau toleransi.

Yudi mengakui adanya kalangan Islam yang bercita-cita mengubah negara jadi negara agama. Itu muncul akibat kedangkalan bangunan pengetahuan. Elite kelompok itu ingin mengambil jalan pintas, seolah-olah persoalan ekonomi, politik, dan kesejahteraan bisa diatasi dengan bendera agama atau peraturan daerah (perda) syariah. mereka malas menerjemahkan atau mengobyektivikasi teks-teks Al Quran dalam sejarah dengan kerangka pengetahuan. Mereka enggan menghadapi kenyataan masyarakat yang heterogen. Sebagian golongan hanya memegang elemen agama yang formalistik dan simbolik seraya menafikan semangat pluralisme. Unsur-unsur dalam teks yang menghargai perbedaan dan pluralisme masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang sekular dari Barat. Padahal, konsep umat saat itu sudah mencapai kemajuan luar biasa. Itulah Pluralisme Islam Modern.

Kenapa semangat Islam sekarang kadang jadi benih disintegrasi?
Pengamat dari Universitas Cornell, Amerika, Ruth MacVey, bilang, jika tidak ada yang bisa menyatukan Indonesia seperti Islam, maka tidak ada juga yang bisa memecah belah Indonesia selain Islam. tentu, Islam sebagai fakta budaya dan mayoritas di Indonesia punya peran penting dalam membangun solidaritas nasional. Tapi kalau gagal mengaktualisasikan dirinya dalam proses keindonesiaan, Islam bisa jadi elemen destruktif.

Bagaimana agar Islam jadi elemen pemersatu? Islam sebagai tradisi budaya yang hidup harus menjadi rumah budaya, yang menerima tetangganya secara baik, santun, dan melibatkan pengayaan dirinya dengan elemen lain. Rumah itu terbuka dengan itikad saling memberi dan menerima dengan orang lain. Kalau Islam jadi rumah budaya, maka harus menyertakan kelompok lain untuk berpesta. Seperti karnaval, setiap warna bisa mengekspresikan dirinya, tetapi harus membentuk harmoni dan toleransi. Islam akan menjadi ancaman jika diterjemahkan sebagai obsesi untuk menunggalkan representasi Islam.

Pemimpin IKLAN versus Pemimpin RAKYAT ...

Menjelang Pemilu 2009, agaknya politik semakin panas dan uapnya sudah menyebar kemana mana, berbagai survey dari lembaga survey yang terkenal dan biasa biasa saja mengemukakan data yang tersaji diberbagai media massa, suasana kampanye ini membuat isi kocek biro iklan dan media massa meningkat, seperti lahan bisnis yang menggiurkan, akhirnya mata dan otak kita dipaksa untuk menyerap informasi secara instan, tokoh yang dibentuk melalui survey dan iklan, dalam ruang informasi dan sosialisasi dari sudut pandang sosiologi tentu wajar saja, pertanyaannya pemimpin mana yang kita akan tentukan pada pemilu 2009 nanti untuk dipilih sebagai bakal calon pemimpin bangsa bagi negara yang berpenduduk 220 juta rakyat ini, yang adil dan demokratis memahami kemajemukan dari sisi etnisitas, agama, keyakinan, kewilayahan dan memiliki orientasi pemersatu dan bukan pemecah belah antar komunitas rakyat, mampu mengelola konflik dengan tetap berpihak pada Bhineka Tunggal Ika.mana yang akan kita pilih apakah pemimpin karbitan yang dimunculkan dengan moto iklan (Kecap no 1) atau Pemimpin sungguhan yang tumbuh melalui proses manusia biasa dalam asuhan alam semesta....
Para politisi dan partai politik sudah saatnya mencari dan mengangkat calon-calon pemimpin dan wakil rakyat yang memiliki jejak rekam masa lalu telah berkiprah dan berkontribusi nyata kepada rakyat. Mari kita gali dan cari para calon pemimpin yang sebelumnya sangat dekat dengan rakyat banyak alias merakyat. Mereka harus telah teruji secara nyata dan mampu mengangkat kondisi rakyat miskin di wilayah tertentu, bukan di awang-awang.

Hingga saat ini, calon Presiden yang sudah muncul ke permukaan sebagian besar tidak merakyat dan tidak membumi secara nyata. Mereka lebih asik dengan berpura-pura peduli kepada rakyat miskin dan memajukan bangsa dan negara di awang-awang atau di langit. Mereka lebih menonjolkan seolah-olah sudah peduli kepada rakyat padalah kontribusinya baru semu dan baru ditunjukan di dunia mimpi dalambentuk iklan media dan simbol-simbol lain yang terpampang disepanjang jalan, padahal bersalaman dengan rakyat saja belum tentu pernah dilakukan secara sungguh-sungguh dan terus menerus. 

Sebaiknya kita mulai menggali para pejuang sosial seperti Muhhamad Yunus di Bangladesh yang telah berhasil mensejahterakan rakyat miskin menjadikannya hidup mandiri. Muhammad Yunus telah memiliki sosial capital secara nyata kepada rakyat banyak.

Kriteria calon presidenpun seharusnya diarahkan ke kualitas kepribadian dan kinerja calon pemimpin tersebut. Janganlah terjebak dengan kriteria yang tidak substansi. Usia dan pendidikan pemimpin tidak perlu dibatasi dengan khusus seolah olah wajib, muda dan tua sebaiknya tidak masalah asalkan memiliki kemampuan dan kepribadian kuat dan mulia serta telah memiliki jejak rekam yang menunjukan dia merakyat, membumi secara nyata sebagai modal sosialnya. 

Di Jepang, para pemimpin baik di pemerintahan dan sektor bisnis dapat kita lihat dalam usia diatat 60 tahun. Usia lebih tua biasanya memiliki kapasitas pengamalam, dan lebih bijaksana. Usia muda tentunya terkadang memiliki kepribadian dengan dorongan emosional lebih tinggi. 

Seorang pemimpin sesungguhnya mereka yang telah memiliki pengalaman bergaul dan teruji memberikan banyak solusi di berbagai level kehidupan. Pengalaman tersebut akan membentuk kepribadian yang lebih matang dalam menghadapi berbagai persoalan dan dalam mengambil keputusan. Bahwa kita membutuhkan pemimpin yang kuat fisik dan mental ya betul, disamping memiliki karakter dan prinsip kuat untuk membela dan memajukan rakyat dan negaranya. Jadi Indonesia saatnya memunculkan calon pemimpin BESAR, pemberani demi membela rakyatnya dan harga diri bangsannya, memiliki jejak rekam merakyat atau membumi, berwibawa dan bijaksana, kuat secara fisik dan mental/akhlak, memiliki kepribadian dan kharisma kepemimpinan yang kuat dan menonjol, mampu mengambil keputusan dengan cepat, tepat, bijaksana, serta selalu mengutamakan dan pro ke rakyat banyak. Semoga bermanfaat.
selamat memilih dengan mendengarkan suara kalbu ............


Tentang Ekonomi

Alasan Utama Mengapa Kita Perlu Meningkatkan Pemahaman Ekonomi

Ekonomi bukan tentang angka-angka. Adalah keliru jika kita memandang ekonomi sebagai ilmu yang berkutat dengan angka, atau statistika atau matematika. Ekonomi bukan tentang pencarian atau perhitungan kekayaan, tapi tentang pencarian cara terbaik bagi suatu tujuan dalam konteks keterbatasan (scarcity) yang dialami semua manusia, dan yang mendasari seluruh keberadaan faktor-faktor produksi manusia dan elemen dasar kehidupan--mis. waktu, atau nyawa manusia itu sendiri


Jumat, 29 Agustus 2008

SUFI

saya mulai berkenalan dengan paham strukturalis, yang saat itu pertama kali saya baca dari bukunya Arief Budiman. Saya mulai asyik dengan teori Ketergantungan dan keterbelakangan yang diusung oleh Andre Gunder Frank and the gang. Makin hari, saya makin jauh dari Cak Nur, saya melihat pemikiran sosial Cak Nur sangat dekat dengan modernisme (walaupun dalam pohon pemikiran Islam Indonesia ia dikategorikan sebagai pemikir Neo-Modernis). Saya lihat Cak Nur gagal menjelaskan mengapa di bawah modernisme ketidakadilan dan kekerasan justru kian meningkat? Lama kelamaan saya merasa Cak Nur semakin menjadi seorang sufi, ia menjadi begawan yang tak tersentuh, yang pemikirannya melangit di tengah-tengah ketidakadilan yang membumi.

Penjelasan tentang keadilan dan humanisme yang paling terang, saya baca ketika berkenalan dengan Marxisme. Marxisme, menurut saya dengan gamblang menjelaskan mengapa ketidakdilan itu muncul dan bagaimana memberantasnya. Bahwa ketidakadilan itu adalah produk sejarah, hasil pergulatan manusia yang nyata. Bahwa seseorang menjadi tidak adil bukan karena takdir, bukan karena bawaan sejak lahir tapi, karena ia hidup dan bergulat dalam sistem sosial yang timpang. Karena itu prasangka personal baik yang buruk atau yang baik harus diletakkan dalam porsi sejarah. Tak boleh ada penghakiman semena-mena terhadap individu atau sebaliknya pengagungan berlebihan. Individu ditentukan oleh sejarah, oleh keadaan dan bergulat di dalamnya.

Sampai di sini, saya seperti ditarik kembali mendekat pada Cak Nur. Saya melihat bahwa ujar-ujar Cak Nur, agar selalu berprasangka baik, bersikap adil bukan semata pesan moral. Pesan itu justru sarat kandungan historis. Karena itulah saya tak ragu-ragu mengkaji Marxisme, saya tak merasa keislaman saya terganggu sebiji dzarah pun dengan belajar Marxisme. Saya justru semakin meyakini pesan-pesan universal dan abadi yang dikandungnya: kemanusiaan, keadilan, pembebasan, rahmat bagi seluruh alam, dst.

Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak

Pencarian Tuhan Lewat Akal
Oleh: Sukasah Syahdan

Semua manusia itu atheis.
Tepatnya, kita semua pernah jadi atheis. Paling tidak, pada dan untuk suatu saat, yaitu di masa-masa pranatal, bayi atau kanak. Ketika peranti dan daya nalar belum sepenuhnya berkembang, jangankan memikirkan keberadaanNya; memikirkan keberadaan sesuatu yang agak hangat di balik popok yang tiba-tiba lembab saja kita tidak kuasa.

Saat sistem tersebut mematang, barulah sedikit demi sedikit kita bisa mempertanyakan hal-hal mendasar tentang diri kita, tentang alam raya dan seisinya, tentang penciptaannya sekaligus tentang Sang Pencipta.dan pertanyaan ultimatnya adalah: (Ti)adakah Tuhan itu? Bisakah kita membuktikannya dengan akal?

Pertanyaan semacam ini sepertinya sudah dikekalkan sebagai pertanyaan; dia telah, sedang, dan akan terus dipertanyakan umat manusia di sepanjang jaman dan peradaban. Sudah sepantasnya Jurnal ini berkepentingan dengan isu yang satu ini, sebab namanya juga Akal dan Kehendak. Artikel ini saya tulis untuk mengawali pembahasan selanjutnya, kapan-kapan. Tujuan saat ini: memastikan posisi akal dengan setepat-tepatnya, terkait satu persoalan terpenting dalam hidup. Apakah pertanyaan-pertanyaan di atas akan tetap kekal tulisan ini selesai dibaca? Kita akan menjawabnya.

Salah satu argumen logis seputar keberadaan Tuhan menyatakan bahwa semua yang ada di alam pasti muncul lewat proses penciptaan. Proses ini dianggap telah terjadi dengan sendirinya, atau sebagai akibat dari rancangan yang disengaja.

Mereka yang percaya pada proses penciptaan mengatakan, semuanya berakhir pada konsep prima causa–atau konsep tentang keberadaan Sang Maha Pencipta dari segala pencipta dan segala penciptaan di seluruh alam raya. Orang yang dapat menerima konsep ini berpeluang besar untuk menerima keberadaan Tuhan. Sementara bagi yang tidak menerima, mereka harus terus mencari landasan keyakinan.

Selain itu, ada pula argumentasi yang menyatakan: Tuhan menciptakan alam semesta beserta segala isi dan isunya. Apa artinya ini? Artinya Ia tidak termasuk di/ke dalam alam semesta. Sebelum penciptaan dilakukan, Ia mestinya berada di luar alam raya. Lalu di manakah Ia pada saat itu? Dan di manakah Ia berada sekarang?

Kalau Tuhan dikatakan telah menciptakan semesta dari ketiadaan yang absolut, bukankah Tuhan termasuk dalam ketiadaan tersebut, sehingga ketiadaan tersebut tidak bermakna sebagaimana seharusnya? Jika orang menerima premis-premis minor tersebut, besar kemungkinan ia akan tiba pada premis akhir yang menolak keberadaan Tuhan. Namun, jika ia menolak premis-premis tersebut, tidak ada jalan lain, kecuali bahwa ia harus menunda kesimpulannya untuk sementara sambil mencari premis-premis logis lain yang harus tidak disangkalnya di muka.

Pertanyaannya: apakah theisme dan atheisme kita perlu dipergantungkan pada premis logis? Dalam hemat saya, ya. Karena ini tuntutan akal–berkah yang amat berharga dariNya (bagi yang percaya, tentunya). Asal mula penciptaan akal kita seharusnya, tanpa kontradiksi, berasal dari kekuatan yang menciptakan alam raya.

Mereka yang 1/2 percaya dan separuh tidak percaya mungkin akan bertanya: kalau Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Ia yang juga Maha Mengetahui segala plot kejahatan, kebejatan dan kesengsaraan yang telah sedang dan akan dialami manusia, tidak melakukan apa-apa? Bagaimana menyikapi proposisi-proposisi logis yang provokatif semacam ini? Di mana tempat doa dalam konstruksi kejadian peristiwa-peristiwa?

Satu hal yang ingin saya tawarkan lewat tulisan ini adalah memahami dengan lebih baik karakteristik dan batas-batas kemampuan akal manusia. Dengan memahami sampai seberapa jauh akal kita dapat mencerna persoalan teologis ini, kita setidak-tidaknya dapat menghemat sumber daya.

Taruhlah pada titik ini, kita terima dulu tanpa analisis lebih jauh, bahwa akal manusia tidak dapat menjawab tuntas Rahasia Besar dalam hidup. Tapi tentunya kita punya rasa, punya kemampuan, punya pengalaman, dan punya peluang besar untuk mengetahui secara relatif lebih meyakinkan tentang batas-batas akal kita sendiri.

Sebab, kenapa tidak? Bukankah akal sesuatu yang ada pada kita? Jawaban terhadap batas-batasnya seharusnya tidak sesulit mempertahankan karya skripsi; dia seharusnya sesuatu yang amat intuitif. Jadi, mari kita bahas batas-batas akal. Sebelumnya, kita perlu membuat batasan atau definisinya.

Apakah akal itu? Akal di sini saya definisikan sebagai kemampuan (faculty) kita untuk mencerna, mengenali, mengidentifikasi, serta memadukan semua materi (‘informasi’) yang kita peroleh melalui panca indra. Ini definisi obyektivis yang saya kira cukup aman dan dapat kita terima.

Akal mengintegrasikan persepsi kita dengan jalan membentuk abstraksi atau konsepsi, sehingga kita bisa meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita dari tingkat yang tadinya semata perseptual (sebagaimana halnya yang dialami hewan), ke tingkat konseptual, yang hanya dapat dicapai oleh otak manusia. Metode yang dipakai akal kita dalam proses ini adalah logika. Logika adalah semacam seni mengidentifikasi sesuatu dengan cara yang tidak kontradiktif.

Terkait pemanfaatan akal dalam pencarian kebenaran dan pengetahuan, baik yang teologis maupun yang ilmiah, berikut ikhtisar singkat saya dari sudut pandang praksiologis (kajian tentang tindakan manusia):Jika kita merunut semua kejadian di alam raya, maka upaya ini akan membawa kita kepada proses regresi ad infinitum hingga ke titik awal terciptanya waktu. sejauh akal dipergunakan, konsep kita tentang waktu tidak final. Kita tidak mampu menangkap awal ataupun akhir dari waktu itu sendiri. Dalam konteks ini, boleh dikatakan bahwa cara pandang kita terhadap dunia sudah ditentukan demikian (deterministik).

Konsep kita tentang alam semesta hanya mampu memahami sesuatu yang ada, dan merunutnya kepada sesuatu yang telah ada sebelumnya; namun, kita tidak tahu penyebab terakhir yang bekerja di alam, sebab hal tersebut sudah melampaui kisaran akal kita dan berada di luar ranah pengetahuan manusia.

Setiap pencarian kebenaran secara ilmiah, cepat atau lambat, pasti akan berakhir pada sesuatu yang harus diterima dianggap sebagai given (sudah dari sananya begitu). Penelitian ilmiah tidak akan mampu sepenuhnya memberi jawaban terhadap teka-teki alam raya. Pencarian pengetahuan pasti akan ‘mentok’. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, kementokan ini hanya bisa diterima dengan kejujuran sebagaimana adanya.

Akal kita mampu menangkap hubungan/kondisi negasi; dengan demikian kita dapat memahami ketiadaan sebagai lawan dari keberadaan, atau non-eksistensi sebagai lawan dari eksistensi. Namun, akal tidak mampu menangkap negasi yang sifatnya absolut. Ini berlaku bagi apapun; hal ini sudah berada di luar pemahaman akal. Gagasan tentang pemunculan sesuatu dari ketiadaan, misalnya, atau gagasan tentang adanya awal yang absolut, tidak mampu dikonfirmasi atau ditolak oleh akal kita.

Akal kita juga tidak mampu memberi makna absolut yang obyektif terhadap terminologi ciptaan akal kita sendiri, semacam: sempurna, absolut, atau Maha. Sejak semula peristilahan ini adalah problem linguistik akibat keterbatasan sistem konvensi bahasa manusia itu sendiri dan/atau akibat universalisme subyektivitas nilai di dalam manusia. Dengan demikian, akal kita tidak mampu mencerna adanya sesuatu yang berasal dari ketiadaan yang lalu memengaruhi alam semesta dari luar (from without).

Dengan menyingkapkan batas-batas kemampuan akal kita seperti dinyatakan di atas, meskipun serba singkat dan terbatas, posisi akal kita terkait pertanyaan-pertanyaan ultimat seputar ketuhanan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

Akal manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ultimat tersebut di atas. Seandainya kesimpulan ini keliru, yang langsung berarti bahwa akal mampu menjawabnya, maka seluruh penduduk dunia saat ini semuanya akan meyakini keberadaan Tuhan sebagai fakta empiris sebagaimana keberadaan matahari di atas sana; atau justru sebaliknya. Logika adalah bahasa universal, sebagaimana seluruh manusia di bumi ini menerima bahwa 1+1=2. Atau harus menolak identitas semacam A=non-A.

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa logika semata tidak mampu menggugurkan ataupun mengukuhkan inti dari ajaran-ajaran teologis. Ini bukan serangan terhadap akal ataupun logika. Pengerahan akal melalui logika bermanfaat untuk telah, sedang dan akan terus menyingkap berbagai kekeliruan dalam perumusan maupun penyimpulan persoalan teologis tersebut, di samping juga membongkar ribuan atau bahkan jutaan mitos, sihir, takhayul, dan berbagai praktik supranatural lainnya.

Keterbatasan atau ketidakmampuan akal dalam menangkap sesuatu tidak dengan sendirinya menegasikan keberadaan sesuatu tersebut. (Selama ribuan tahun manusia tidak mengenal adanya bakteri yang telah menyebabkan begitu banyak kematian manusia. Ketidaktertangkapan bakteri sebagai konsep maupun secara indrawi tidak meniadakannya.)

Keterbatasan akal manusia dalam memahami hal-hal fundamental tersebut jelas meninggalkan wilayah abu-abu yang luas menganga. Mungkin ini ruang yang cocok bagi pemanjatan doa-doa oleh para “Pemilik Teguh” (meminjam bait Bung Chairil Anwar). Yang pasti, atas dasar konsistensi, ruang eksklusif tersebut tidak dapat diakses oleh mereka yang menolak percaya.