Jumat, 29 Agustus 2008

SUFI

saya mulai berkenalan dengan paham strukturalis, yang saat itu pertama kali saya baca dari bukunya Arief Budiman. Saya mulai asyik dengan teori Ketergantungan dan keterbelakangan yang diusung oleh Andre Gunder Frank and the gang. Makin hari, saya makin jauh dari Cak Nur, saya melihat pemikiran sosial Cak Nur sangat dekat dengan modernisme (walaupun dalam pohon pemikiran Islam Indonesia ia dikategorikan sebagai pemikir Neo-Modernis). Saya lihat Cak Nur gagal menjelaskan mengapa di bawah modernisme ketidakadilan dan kekerasan justru kian meningkat? Lama kelamaan saya merasa Cak Nur semakin menjadi seorang sufi, ia menjadi begawan yang tak tersentuh, yang pemikirannya melangit di tengah-tengah ketidakadilan yang membumi.

Penjelasan tentang keadilan dan humanisme yang paling terang, saya baca ketika berkenalan dengan Marxisme. Marxisme, menurut saya dengan gamblang menjelaskan mengapa ketidakdilan itu muncul dan bagaimana memberantasnya. Bahwa ketidakadilan itu adalah produk sejarah, hasil pergulatan manusia yang nyata. Bahwa seseorang menjadi tidak adil bukan karena takdir, bukan karena bawaan sejak lahir tapi, karena ia hidup dan bergulat dalam sistem sosial yang timpang. Karena itu prasangka personal baik yang buruk atau yang baik harus diletakkan dalam porsi sejarah. Tak boleh ada penghakiman semena-mena terhadap individu atau sebaliknya pengagungan berlebihan. Individu ditentukan oleh sejarah, oleh keadaan dan bergulat di dalamnya.

Sampai di sini, saya seperti ditarik kembali mendekat pada Cak Nur. Saya melihat bahwa ujar-ujar Cak Nur, agar selalu berprasangka baik, bersikap adil bukan semata pesan moral. Pesan itu justru sarat kandungan historis. Karena itulah saya tak ragu-ragu mengkaji Marxisme, saya tak merasa keislaman saya terganggu sebiji dzarah pun dengan belajar Marxisme. Saya justru semakin meyakini pesan-pesan universal dan abadi yang dikandungnya: kemanusiaan, keadilan, pembebasan, rahmat bagi seluruh alam, dst.

Tidak ada komentar: